--> Skip to main content

Nasib Sawah dan Ladang Tatar Sunda

Nasib Sawah dan Ladang Tatar Sunda

Generasi muda Sunda pedesaan mutakhir, begitu menginjak remaja, tidak memegang cangkul, garu, wuluku, gugurul, etem, arit, aseuk, kored, dan sebagainya, tetapi langsung memegang setang sepeda motor (ngojek ). Sebagian kecil yang meneruskan sekolah, hingga ke bangku kuliah, ikut tereliminasi dari lingkungan kehidupan sawah dan ladang.

Tidak mengherankan, banyak sawah subur, berpengairan irigasi, dan terletak dekat jalan raya beralih fungsi menjadi restoran, vila, kompleks perumahan, tempat rekreasi, dan sejenisnya. Tingginya biaya mengolah tanah, ketiadaan tenaga kerja “kuli nyeblok”, dan prospek ekonomi produk pertanian yang tak menentu membuat pemilik sawah menjual sawahnya. Apalagi jika harga penawaran cukup tinggi, melebihi harga pasaran biasa.... Langsung dah di lepas.

Sawah belum di olah...
Sawah belum di olah... 

Ladang yang dulu tempat pertanian lahan kering bernasib sama. Ladang dengan segala aneka tanaman, dari pare huma, hui, ganyong, labu, hiris, ku'uk, taleus, jaat, roay, hingga jagung dan singkong, serta tanaman kayu produksi berumur sedang, semacam jeungjing, albasia, banyak yang dibiarkan telantar. Sebab, ladang tersebut tidak begitu laku diperjualbelikan kecuali jika ada pemodal tertentu yang siap memanfaatkannya, misalnya untuk lahan peternakan ayam atau sapi. Namun, itu pun sangat jarang.


Merosotnya minat generasi muda pedesaan terhadap pertanian, selain akibat dampak industrialisasi, juga karena tak ada daya tarik sampingan dari sawah dan ladang itu sendiri. Sawah dan ladang sekarang sudah amat miskin dari berbagai jenis flora dan fauna. Keganasan efek insektisida dan pestisida sudah menghancurkan habitat dan ekosistem binatang dan tumbuhan penghuni sawah dan ladang.

Sawah sedang ditanami padi.


Di sawah, sisa belut mungkin masih ada tapi kurus-kurus, kering - kering, bertulang keras, dan populasinya makin sedikit. Sementara kini-kini, kuang-kuang, getok, peupeundeuyan... ( Nini - nini urang Subang dibekok peupeureudeuyan ... Hehehe) penanda kesuburan sawah, sudah lama lenyap habitatnya.

Sekarang ini .... selokan-selokan kosong dari ikan-ikan liar, semacam paray, beunteur, genggehek, berod, keting, impun, dan betok, kocolan.

Begitu juga dengan sayuran yang suka tumbuh di dalam lumpur, dan merupakan “bonus” gratis bagi perempuan “kuli ngarambet”, seperti eceng, gunda dan genjer, juga sudah jarang ditemukan.
 


Sementara diladang, aneka jenis suung (jamur), dari suung pare, suung bulan, dan suung rampak, sudah musnah. Tanaman buah harendong, ketos, cecendet sama-sama punah. Padahal tumbuhan-tumbuhan tersebut menjadi bahan cadangan pangan amat berharga karena mengandung gizi dan nutrisi tinggi.

Ladang ditanami palawija
Ladang ditanami palawija


Burung-burung pengunjung setia sawah, seperti piit, manyar, hingga burung pemakan ikan, semacam hahayaman, wakok, cakahkeh dan tilil sekarang gak kelihatan lagi saat menjelang panen, hanya tinggal nama. Mereka senasib dengan burung-burung ladang, seperti cangkurileung, bincarung, ekek, saeran, manuk seupah, jogjog, cinitnit, cipeuw yang kicau tak pernah terdengar lagi. Makanan dan lingkungan ladang sudah tak memungkinkan lagi bagi mereka untuk bertahan hidup dan berkembang biak. 


Ngundeur daun lalap
Ngundeur daun lalap


Wajar, jika kelak sawah dan ladang hilang dari percaturan budaya dan peradaban manusia Tatar Subang.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Comments
0 Comments